Jumat, 19 Agustus 2016

Inilah rezeky yang di jamin, Hampir setiap manusia menginginkan rezeki melimpah ruah. Kalau perlu, dapat diwariskan untuk tujuh turunan


Hampir setiap manusia menginginkan rezeki melimpah ruah. Kalau perlu, dapat diwariskan untuk tujuh turunan. Sifat tamak, serakah, berfoya-foya dan kikir ikut menyertainya. Padahal, harta hanyalah titipan, alat untuk menjalankan tugas kekhalifahan, memakmurkan bumi, dan beribadah kepada-Nya.
Janganlah mencari harta membuat kita lalai dari kewajiban beribadah. Karena, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan makhluk disertai dengan rezekinya masing-masing. Dalam Alquran surah Hud ayat 6 disebutkan, “Dan tidak ada binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Lauhul Mahfuzh.”
Seperti kisah mashur seorang sufi bernama Abul Hasan al-Mishri yang menjalani hidup zuhud. Pada usia senjanya, meninggalkan jabatan di pemerintahan dengan gaji 50 dinar per bulan. Beliau beruzlah di menara Masjid Jami’ Amr bin al-Ash sampai akhir hayatnya.
Konon, Al-Mishri memilih hidup zuhud karena seekor kucing yang selalu datang ke rumahnya setiap pagi menunggu untuk diberikan makanan. Ketika diberi, kucing itu tidak langsung memakannya, tapi membawanya pergi. Karena penasaran, Al-Mishri membuntuti kucing itu. Ternyata, makanan itu dibawanya ke suatu gubuk. Di sana terdapat kucing lain yang buta. Makanan itu ia letakkan dihadapan kucing yang buta tersebut. Rupanya, dari situlah kucing buta tersebut mendapatkan makanannya sehari-hari.
Al-Mishri terkesima melihat pemandangan yang tak biasa tersebut dan ia bergumam, “Zat yang telah menjadikan kucing ini sebagai pelayan bagi kucing buta yang melarat itu sangat bisa membuatku tidak butuh kepada dunia ini.”
Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa dari kehidupan binatang pun manusia dapat belajar, tersadar dari kelalaiannya kepada Allah SWT. Kita sering kali sombong terhadap apa yang telah dimiliki, lupa bahwa apa yang diperoleh, selain merupakan usaha, juga ada campur tangan Allah sang pemberi rezeki.
Rasulullah SAW menegaskan, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang dengan perut yang penuh.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Hakim dari Umar bin al-Khatthab).
Hanya saja, mesti disadari, sudah menjadi sunnatullah ada yang mendapat kelebihan rezeki, tapi ada pula yang hanya dipenuhi kebutuhan primernya atau disempitkan. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 212, “…Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas.”
Dalam makna yang sama, Allah menyampaikan bahwa akan ada orang-orang yang diberikan rezeki melimpah, sebagaimana tertera dalam surah Ali Imran ayat 27 dan 37. Bahkan, ditegaskan pula, bila Allah SWT menghendaki, mungkin saja ada yang diluaskan rezekinya atau disempitkan. Seperti yang disampaikannya dalam surah ar-Ra’d ayat 26, “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Kepada mereka yang berlebih, hendaknya selalu bersyukur dan membantu yang kekurangan. Sementara, bagi mereka yang kekurangan, hendaknya bersabar, terus berusaha, tetap bersyukur atas karunia yang diberikan oleh-Nya, dan menjaga iman. Karena, kefakiran cenderung mendorong manusia kepada kekafiran.
Keyakinan bahwa rezeki dijamin Allah SWT tidak berarti hidup yang dijalani tidak produktif. Bekerja keraslah sekuat tenaga agar kita tidak meninggalkan keluarga dan keturunan dalam kefakiran.
Menjadi kewajiban kita untuk berusaha sekuat tenaga agar selain mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, juga membantu orang lain. Ingatlah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu’alam.
Sebelum melangsungkan pernikahan, ia harus melamar atau mengkhitbah terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal keseriusan Anda pada calon yang akan dinikahi. Hanya saja, banyak di antara masyarakat kita yang melakukan kesalahan dalam proses mengkhitbah. Sedikitnya ada tiga kesalahan yang sering dilakukan. Apa sajakah itu? 1. Tidak Melihat Calon Istri Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata, “Disunnahkan bagi pelamar untuk melihat apa yang biasa nampak pada wanita, seperti wajah dan telapak tangan, memperhatikannya dan memperhatikan apa yang mendorong dirinya untuk menikahinya. Berdasarkan sabda Nabi kepada salah seorang sahabat yang hendak menikah, ‘Lihatlah dia’,” (HR. Muslim No. 1425. Dan lihat masalah batas-batas melihat calon istri dalam As-Sunnah edisi 12 Tahun IV/1421-2000 hal. 61-63). Tetapi tidaklah diperbolehkan bagi seseorang melihat wanita tersebut, sedangkan dirinya tidak mempunyai keinginan untuk menikahinya. Demikian pula tidak diperbolehkan melihatnya hanya berduaan saja. Memang benar, tidak terlarang melihat sekalipun si wanita tidak merasa dilihat. Tetapi apa yang biasa dilakukan oleh orangtua zaman sekarang, mereka sengaja meninggalkan putrinya sendirian dengan calon suaminya beralasan lamaran. Ini sama sekali tidak diperbolehkan dan tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kecemburuan dalam agama. [Al-Mindhar ila bayani katsir Al—Akhtha’ As-Sya’iyah: 141-142] 2. Menuntut Mahar yang Sangat Tinggi Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin berkata, “Mahar yang disyari’atkan adalah mahar yang sedikit, bahkan lebih sedikit itu lebih utama. Hal tersebut untuk mencontoh Nabi ﷺ yang mulia dan untuk mendapatkan barakah pernikahan. Sebab pernikahan yang paling berbarakah ialah yang paling ringan maharnya.” Imam Muslim meiwayatkan dalam shahihnya no. 1425, bahwa seorang sahabat pernah berkata kepada Nabi ﷺ, “Aku hendak menikahi seorang wanita, maka Nabi ﷺ pun bertanya, berapakah maharnya?” Dia menjawab empat uqiyah (160 dirham). Nabi ﷺ bersabda, “Empat uqiyah? Seakan-akan kalian memahat perak dari gunung!” (Imam Nawawi berkata dalam “Syarh Shahih Muslim 9/553”, “Maka sabda beliau ini adalah membenci dari mempermahal mahar pada sang suami.”) “Kami tidak dapat memberimu apa-apa, tetapi mudah-mudahan kami dapat memberikannya di lain waktu.” 3. Tukar Cincin Sudah merupakan tradisi para pemuda dan pemudi kita sekarang ialah melakukan tukar cincin di saat lamaran mereka. Padahal ini jelas-jelas merupakan tasyabuh (latah/ menyerupai) dengan orang-orang kafir, musuh Allah. Bahkan di antara mereka berkeyakinan bahwa akad pernikahan telah terikat dengan cincin tersebut. Tidak cukup sampai disitu, lebih parah lagi biasanya cincin yang dipakai pelamar laki-laki terbuat dari emas. Padahal ini diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali. Di antaranya hadis Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya. Rasulullah ﷺ pun mencabut dan melemparnya (cincinnya) seraya bersabda, “Salah seorang di antara kalian sengaja mengambil bara api, lalu dia meletakkan di tangannya.” Tatkala Rasulullah ﷺ berpaling, dikatakan kepada sahabat tersebut, “Ambillah dan manfaatkan cincin tersebut.” Dia menjawab, “Tidak! Demi Allah selamanya aku tidak akan mengambilnya karena Rasulullah ﷺ telah melemparkannya,” (HR. Muslim no. 2090). [] Sumber: almanhaj.or.id

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Sebelum melangsungkan pernikahan, ia harus melamar atau mengkhitbah terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal keseriusan Anda pada calon yang akan dinikahi. Hanya saja, banyak di antara masyarakat kita yang melakukan kesalahan dalam proses mengkhitbah. Sedikitnya ada tiga kesalahan yang sering dilakukan. Apa sajakah itu? 1. Tidak Melihat Calon Istri Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata, “Disunnahkan bagi pelamar untuk melihat apa yang biasa nampak pada wanita, seperti wajah dan telapak tangan, memperhatikannya dan memperhatikan apa yang mendorong dirinya untuk menikahinya. Berdasarkan sabda Nabi kepada salah seorang sahabat yang hendak menikah, ‘Lihatlah dia’,” (HR. Muslim No. 1425. Dan lihat masalah batas-batas melihat calon istri dalam As-Sunnah edisi 12 Tahun IV/1421-2000 hal. 61-63). Tetapi tidaklah diperbolehkan bagi seseorang melihat wanita tersebut, sedangkan dirinya tidak mempunyai keinginan untuk menikahinya. Demikian pula tidak diperbolehkan melihatnya hanya berduaan saja. Memang benar, tidak terlarang melihat sekalipun si wanita tidak merasa dilihat. Tetapi apa yang biasa dilakukan oleh orangtua zaman sekarang, mereka sengaja meninggalkan putrinya sendirian dengan calon suaminya beralasan lamaran. Ini sama sekali tidak diperbolehkan dan tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kecemburuan dalam agama. [Al-Mindhar ila bayani katsir Al—Akhtha’ As-Sya’iyah: 141-142] 2. Menuntut Mahar yang Sangat Tinggi Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin berkata, “Mahar yang disyari’atkan adalah mahar yang sedikit, bahkan lebih sedikit itu lebih utama. Hal tersebut untuk mencontoh Nabi ﷺ yang mulia dan untuk mendapatkan barakah pernikahan. Sebab pernikahan yang paling berbarakah ialah yang paling ringan maharnya.” Imam Muslim meiwayatkan dalam shahihnya no. 1425, bahwa seorang sahabat pernah berkata kepada Nabi ﷺ, “Aku hendak menikahi seorang wanita, maka Nabi ﷺ pun bertanya, berapakah maharnya?” Dia menjawab empat uqiyah (160 dirham). Nabi ﷺ bersabda, “Empat uqiyah? Seakan-akan kalian memahat perak dari gunung!” (Imam Nawawi berkata dalam “Syarh Shahih Muslim 9/553”, “Maka sabda beliau ini adalah membenci dari mempermahal mahar pada sang suami.”) “Kami tidak dapat memberimu apa-apa, tetapi mudah-mudahan kami dapat memberikannya di lain waktu.” 3. Tukar Cincin Sudah merupakan tradisi para pemuda dan pemudi kita sekarang ialah melakukan tukar cincin di saat lamaran mereka. Padahal ini jelas-jelas merupakan tasyabuh (latah/ menyerupai) dengan orang-orang kafir, musuh Allah. Bahkan di antara mereka berkeyakinan bahwa akad pernikahan telah terikat dengan cincin tersebut. Tidak cukup sampai disitu, lebih parah lagi biasanya cincin yang dipakai pelamar laki-laki terbuat dari emas. Padahal ini diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali. Di antaranya hadis Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya. Rasulullah ﷺ pun mencabut dan melemparnya (cincinnya) seraya bersabda, “Salah seorang di antara kalian sengaja mengambil bara api, lalu dia meletakkan di tangannya.” Tatkala Rasulullah ﷺ berpaling, dikatakan kepada sahabat tersebut, “Ambillah dan manfaatkan cincin tersebut.” Dia menjawab, “Tidak! Demi Allah selamanya aku tidak akan mengambilnya karena Rasulullah ﷺ telah melemparkannya,” (HR. Muslim no. 2090). [] Sumber: almanhaj.or.id

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Rabu, 19 Februari 2014

kuku bisa menjadi jendela untuk melihat status kesehatan

Jika mata sering di ibaratkan sebagai "jendela jiwa" maka kuku bisa menjadi jendela untuk melihat status kesehatan seseorang. Hal ini karena perubahan pada kuku bisa disebabkan oleh penyakit tertentu. Beberapa penyakit yang bisa berpengaruh pada kondisi kuku misalnya sindrom kuku Kuning. Kuku akan tampak menebal dan pertumbuhannya lambat. Biasanya di kaitkan dengan penyakit pernapasan. Sementara itu, jika kuku berwarna Kuning, tetapi pertumbuhannya normal, itu bisa menjadi tanda diabetes. Itu karena diabetes dapat menyebabkan glukosa, menyebabkan tumpukan protein kolagen di kuku sehingga kuku tampak Kuning. Jika kuku Anda berwarna Kuning dan terjadi gejala diabetes lainnya, seperti peningkatan rasa haus atau buang air kecil.